Contoh Cerpen Kontemporer: Danau Liaq Karya Korrie Layun Rampan




DANAU LIAQ
Karya Korrie Layun Rampan

            Rumpun bemban masih saja seperti dahulu, saat mula aku mengenal danau itu. Rumpun-rumpun itu kembali mengingatkan kau akan masa kanakku yang hilang di situ. Dahulu, kata ibu, menurut kisah yang didapatnya dari nenek, Danau Liaq berasal dari pusaran seekor bulus yang harus bertelur sejuta. Ia dikutuk karena memakan durian kesayangan raja. Karena ditanam arah ke tepi sungai, buah-buah durian itu banyak yang jatuh dari pasir pantai, dan buah-buah berduri itu menjadi mangsa bulus. Entah bagaimana caranya, bulus itu bisa membuka durian-durian jenis durian buaya atau duarian monthong itu, dan memakannya dengan lahap. Apakah ia menunggu sampai durian itu mereka, atau ia mengigit bagian bawah durian, sehingga juring durian terbuka. Tak ada yang tahu secara jelas, bagaimana sebenarnya bulus itu mampu mendapatkannya dan memakan daging durian yang manis beralkohol itu.
            Oleh karena kutukan itu, bulus itu membuat pusaran yang luas di pasir untuk tempatnya bertelur. Pusaran itu menjadi lebar dan dalam dan bekas pusaran bulus itu berubah menjadi danau. Orang kampong di zaman itu menyebutkan Danau Liaq yang bermakna danau ciptaan bulus karena kutukan dewa pemarah!
            Aku tak terlalu percaya dengan kisah itu. Namun aku suka memancing didanau itu, terutama karena aku tertarik dengan bentuk danau yang bundar seperti nyiru. Sekeliling danau merimbun rumpun bemban, dan disela-sela bemban itu berkeliaran ikan gabus dan ikan lele yang besar lagi gemuk. Jika memancing dengan umpan cacing atau belalang, sering aku mendapat ikan boyon, ikan lais dan baung yang enak sekali rasanya. Jika ikan itu dipepes atau dibakar, rasa dagingnya gurih manis. Sebelum aku pindah ke kota karena harus melanjutkan sekolah di sebuah SMP di ibukota kecamatan, aku selalu datang ke danau itu pada waktu-waktu tertentu dengan tujuan mancing atau mengangkat bubu dan pengirei yang diberi umpan untuk jenis ikan pepuyuh dan kelabeuw. Terakhir aku jera karena tiba-tiba saja di dalam bubu melingkar ular bentung yang berbisa, dan aku berteriak memanggil ibu. Kalau aku sempat dipatuknya, entahlah nasibku, mungkin sudah menjadi tanah seperti nenek moyang yang dikubur di dalam tempelaq yang berupa kuburan gantung.
            Danau itu hampir saja terlupa dari ingatku jika aku tidak kembali setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi di          Jakarta. Peristiwa ular bentung seperti terpeta di depan mata membuat aku bertanya kepada ibu, apakah masih ada orang yang mancing, memasang pukat atau bubu dan menarik pancing bentang di danau itu. Dimasa kanakku, aku bersama kakakku Tingang suka memasang jaring untuk menangkap ikan biawan dan ikan kapar yang enak rasanya. Telur biawan jika dikonsumsi terlaku banyak, akan membuat anus menjadi licin berminyak. Telur ikan itu akan menjadi musuh beteleq, karena buahan itu akan bisa membuat anak-anak tidak bisa buang air besar. Jika makan telur biawan, urusan WC menjadi lancar, meskipun makan beteleq seberangka banyaknya.
            Danau Liaq adalah danau masa kanak. Belasan tahun aku tak pernah mernjenguknya karena aku kuliah di Jakarta. Namun kini saat aku melihatnya kembali, hatiku jadi terbuka untuk sebuah ide ikan keramba. Bukankah danau itu sangat bagus untuk dijadikan lahan menanam berbagai jenis ikan yang nantinya akan dipanen untuk dijual dipasar-pasar Damai, Berong Tongkok, Melat, Linggang Bigung, Lambing, Jengan Danum,dan Samarinda.
            “Tapi di kiri kanan danau itu memiliki rahasia yang seram,” kawanku Tuwala berkata dengan nada khawatir. ”harus berhati-hati menghindari murkah.”
            “Rahasia apa? Murka siapa?” aku merasa penasaran.
            “Rahasia liaq itulah, itulah,” Tuwala berkata. “Dulu, bahkan orang harus mengorbankan ayam putih dan anjing hitam kalau liaq itu murka.”
            “Mengapa murka?” aku bertanya seperti orang tolol.
            “Karena orang-orang mengambil ikan di danau itu tanpa adat aturan,” Tuwala makin menjelaskan. “Mereka tak menggunakan peralatan nelayan yang lumrah. Mereka gunakan potas dan setrum!”
            “Potas dan setrum? Bukankah sampai anak-anak ikan ikut mati?”
            “Bukan itu saja. Bahkan tukan putas dan tukang setrumnya ikut mati!”
            “Itu namanya kuwalat!” aku seperti menyumpahi.
            “Tapi sebenarnya tukang potas dan tukang setrum kuwalat pada liaq yang menghuni danau itu. Karena mereka tidak memberi sesaji, liaqnya marah. Akibatnya sangat fatal, tukang potas dan tukang setrum itu benar-benar mampus!”
            Kalau saja aku masih usia masa kanakku, bulu kudukku akan segera berdiri. Tentu aku akan bayangkan bagaimana liaq mengambil nyawa seorang nelayan karena nelayan itu tak bersopan santun menangkap ikan dari danau. Mungkin liaq adalah makhluk aneh yang menyeramkan, berkepala sebelas dengan gigi yang runcing tajam memanjang serta rambut terurai awut-awutan. Kuku-kukunya begitu panjang dan badannyanyang kotor tasmpak mengkilat di bawah cahaya matahari. Bau busuknya akan menyebar keseluruh permukaan danau, sehingga menimbulkan rasa mual dan geronjangan akan muntah. Tapi saat Tuwala berbicara aqku sudah sarjana dan aku justru akan membuka usaha di bidang keramba di danau itu.
            “Dulu ada warga dari kampong lain suka meracuni ikan di malam hari setelah ruba dianggap kurang mampan, “Tuwala masih melaporkan pengetahuannya mengenai aksi masyarakat penangkap ikan.
            “Makin hari pendapatan mereka berkurang, sehingga mereka gunakan setrum!”
            “Tapi jika aku sudah peliharakan ikan, aku minta petinggi umumkan kepada warga agar janagan lagi menuba, meracun, menyetrum,” aku memandang wajah Tuwala. “Biar ikan sungai dan danau dapat berkembang menjadib besar, dan ikan keramba aman juga, tak beracun oleh tuba dan obat mematikan.”
            “Tapi kalu menanam kerambah di Danau Liaq, kau tak merasa khawatir akan gangguan makhluk halus liaq yang bisa saja nanti minta sesaji,” Tuawala masih dengan argumentasinya. “Kuingat Dakouwe yang hanya mau mengambil ikan dari danau itu tapi tidak mau memberi sesaji, akhirnya kejeblos ke dalam lumpur muara danau dan tenggelam di arus Sungai Nyuwatan. Hingga kini mayatnya tak diketemukan!”
            “Kudengar Dakouwe suka mengganggu istri Sengkereaqduaq. Apa tak mungkin lelaki itu dibencana karena perselingkuhannya?”
            “Tapi mayatnya tak diketemukan orang. Kata orang mayat itu disembunyikan oleh liaq di dasar danau.”
            “Disembunyikan di dasar danau? Dasar yang mana? Bukankah danau tak terlalu dalam, hanya dua tiga meter saja dalamnya? Kalau diletakkan di dasar danau, tentu mayatnya akan mengapung kalau sudah membusuk. Lagi pula, untuk apa liaq sembunyikan mayat orang mati?”
            “Tapi itu perbuatan liaq bukan model tata cara manusia,”Tuwala masih dengan argumentasinya. Kalau mayat tak dibiarkan mengapung, ya tak kan mengapung. Bukankah liaq adalah makhluk halus yang dapat membutuhkan kematian sebagai tumbal bagi kedegilan manusia dalam mengelola lingkungan hidup!”
            Tuwala memang teman akrabku semasa di SD. Oleh karena ayahnya meninggal dunia, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi karena tak ada yang menyandang dana. Ia akhirnya menikah dan membuka lading secara tradisi. Bersama kelinceking, Sepotn dan Lelutukng, ia kuajak bersama membangun keramba di danau liaq. Dengan berbagai informasi danargumennya yang menyangkut kehidupan tradisional kampong, aku merasa aku mendapat bahan-bahan berguna untuki menata lingkungan di masa depan. Tanpa ilmu pengetahuan masyarakat akan tetap dibutakan oleh mitos-mitos kuno yang menghambat.
            Namun di pihak lain, aku juga suka dengan isyarat-isyarat dan batasan-batasan yang dipegang adat dan tradisi. Bahkan mitos Danau Liaq yang dikatakan bermula dari pusaran bulus membuat aku makin berusaha menyelami dan memahami makna apa yang terkandung dibalik dongeng-dongeng kuno itu. Bukankah cerita-cerita lama lebih banyak berupa tamsil dengan maksud-maksud tertentu di baliknya?
            Tak terasa jika keramba kami telah dihuni ikan-ikan jelawat, baung, betutu yang hamper siap panen. Tiga jenis ikan itu sengaja aku pilih karena memiliki ekonomi yang tinggi, sebab ikan-ikan itu digemari masyarakat lokal. Dalam jangka panjang aku berencana akan menjual ikan-ikan itu ke Jawa, bahkan ikan betutu disebut juga ikan bakut, sangat digemari orang Cina, Korea dan Jepang. Kuharap suatu ketika aku akan bangga mengangkut ikan-ikan itu dari Bandara Sepinggan di Balikpapan dalam dus-dus ukuran internasional untuk aku ekspor ke mancanegara.
            Bibit-bibit unggul itu ketiga jenis ikan itu aku beli di Banjarmasin, dan dengan penyuluh yang kudatangkan dari Dinas Pertanian Kabupaten, pemeliharaan ikan-ikan itu benar-benar sesuai dengan tata cara yang seharusnya ikan-ikan itu cepat sekali menjadi besar dan gemuk. Kerja keras selama beberapa bulan terakhir ini kurasa akan segera akan menghasilkan buah. Bahkan kuduga, kredit bank akan mengucur lebih besar, jika panen perdana yang dilakukan oleh bupati, telah dilangsungkan. Pihak bank akan melihat sendiri bahwa uang yang mereka pinjamkan tidak terbuang di lapak judi tongkok dan tak juga dihabiskan dengan wanita ayu di kafe-kafe hiburan,  tetapi benar-benar ditanam di dalam usaha produktif berupa ikan dalam keramba.
            Acara persiapan penyambutan bupati untuk panen perdana telah rampung. Petinggi dan kepala adat ikut ambil bagian dalam acara tersebut, karena baru kali inilah kampong kami akan dikunjungi bupati. Selama puluhan tahun dan berapa bupati dan gubernur telah ganti-berganti, baru kali inilah masyarakat kampung merasa mendapat kehormatan karena kampong akan dikunjungi pejabat tinggi Negara. Selama ini camat-camat pun jarang datang, bahakan ada camat sampai tugasnya berakhir di kecamatan, tidak sempat mengunjungi kampong kami. Sehinggga ada orang yang menggerutu dengan pahit, bahkan kampong kami selalu dianaktirikan dan menjadi kampung sial, karena kutukan liaq, membuat kampung tak pernah maju. “Tapi mengapa harus menggunkana lokasi di situ,” Tuwala seperti ternganga melihat kawasan nantinya akan digunakan untuk tempat upacara.
            “Tempat itu tidak baik digunakan untuk umum karena ada penunggunya.”
            Tuwala yang sedang bertugas menyiapkan pemasaran di Banjarmasin tak ikut serta dalam pembuatan tanggung dan teratak upacara. Ia baru saja tiba, setelah semuanya selesai.
            “Biar penunggu itu menjaga kita,” Pererawen seperti berlelucon.” Biar ucapara berjalan lancar.”
            “Tapi di situ ada lubang misterius,     Wen,” Tuwala menguatkan argumentasinya.
            “Nenekku pernah kidasih mimpi delapan kali di siang hari oleh lelaki tua berambut putih yang mengatakan bahwa di tempat itu ada gua harta.”
            “Itu lebih baik,” Pererawen tak mau kalah. “mudah-mudahan kita semua ini diberi tua akan harta karun yang berlimpah ruah. Sebagai penggagas pembangunan keramba dan yang bertanggungjawab akan usaha yang aku jalankan, aku merasa semuanya sudah siap. Jika terjadi penggunaan kawasan berpenunggu, kuharap itu hanya dongeng kuno yang tak ada buktinya. Oleh karena itu, aku minta kepada Tuwala dan Parerawan agar persoalan lokasi jangan diperumit. Lebih baik bersiap-siap menunggu kedatangan rombongan bupati esok hari.”
            Setelah memeriksa keramba dan segala persiapan penyambutan, aku berusaha memejamkan mata. Panen perdana kuharapkan akan dilanjutkan dengan panen kedua dan seterusnya, dan masyarakat kampong akan menjadi sejahtera karena usaha keramba. Ekonomi rakyat meningkat, tak lagi terlilit hutang ijonan disebabkan harga karet dan rotan selalu tak menentu karena diakali dan dikadali para tengkulak!
Saat aku bangun udara pagi terasa sangat dingin karena gerimis masih merintis. Aku menjadi jengah, karena di ruang tengah telah duduk sejumlah warga dan mereka berbicara dengan nada yang tinggi.
            “Panggung dan teratak terjeblos ke dalam tanah,” suara Tuwala melapor padaku. “ikan-ikan dalam keramba pada mati. Menurut Petinggi rombongan bupati sebentar lagi akan tiba di sini!”
            Kukucek mataku di depan panggung upacara dan teratak yang tenggelam ke dalam lubang tanah yang menggeronggang ke dalam karena guyuran hujan membuat tanah menjadi lembek dan seluruh lapisan atas tanah terkikis lalu membentuk lubang yang dalam. Sementara hampir-hampir aku tak percaya, saat kukucek mataku di depan keramba. Seluruh ikan mengapung mati!
            Saat rombongan bupati tiba, kutunjuk bangkai-bangkai ikal jelawat, ikan baung dan ikan betutu yang mengapung mati. Air danau yang tadinya bening bersih telah berubah menjadi iar susu. Beberapa anak sungai yang mengalir ke danau itu telah membawa limba merkuri dan limbah tanah yang lingkungannya hancur karena penebangan hutan yang dilakukan secara merajalela oleh pengusaha HPH. Perubahan air secara mendadak dan racun-racun tanah dari bekas tebangan HPH telah menciptakan neraka bagi ikan-ikan keramba.
            Danau Liaq, bulus terkutuk, keramba, limbah HPH, dan di sebelahku bupati yang kulihat masih melongo di depan keramba danau dengan jutaan ikan mati.
            Gerimis seperti melilitkan kemurungan di awan yang menggantung hitam.
            Matahari mungkin masih lama tak tampak!

 >>>><<<<<

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form