PENGANTAR
Bangsa lain patut cemburu dengan bangsa
Indonesia. Sebab Tuhan telah menganugerahi bangsa
ini dengan rahmat, perhatian, dan kasih sayang yang berlebih jika dibandingkan dengan bangsa
lainnya. Di segala segi. Pada alamnya, tak ada jengkal
tanah di negeri lain sesubur tanah di negeri ini. Dengan hamparan sawahnya yang luas, menumbuhkan padi, tebu,
jagung, dan tanaman lainnya. Gunung dan ngarainya
yang selalu hijau. Sungai-sungai mengalir hulu hilir. Satwa-satwanya tak henti menyanyikan lagu alam.
Lautan luas yang penuh sesak dengan ikan berbagai
jenis. Bahkan emas dan perak terkandung dalam perut bumi Indonesia.
Dengan potensi sebesar ini, harusnya
Indonesia sudah menjadi negara maju. Namun, apalah
daya langkah tak sampai. Indonesia hanya sedang
bergerak dan bergerak –malah cenderung jalan di
tempat tak maju-maju. Ada lagi yang mengatakan bahwa
negara kita adalah negara berkembang. Berkembang (baca berbunga) tak kunjung berbuah. Kemiskinan di
mana-mana, rampok dan pencuri merajalela, mulai
dari rampok level kampung hingga level metropolitan, pencuri kelas teri hingga pencuri kelas kakap, entah
lagi yang menggunakan sarung ataupun yang
berdasi. Semua persoalan seolah-olah tak ada ujung penyelesaian. Program pemerintah belum mampu menembus sanubari
rakyat kecil. Kebijakannya keburu
dipangkas di sana sini.
Sementara itu, negara lain memimpikan
lingkungan hidup sesubur Indonesia. Sebut
saja Mesir, negara padang pasir yang panas dan kering kerontang itu. Mereka mampu menjadi eksportir apel,
anggur, dan mangga. Hal ini dapat mereka lakukan
dengan cara menciptakan teknologi perkebunan yang memungkinkan mereka dapat menanam buah apel,
anggur, dan mangga (Nadjib, 2015). Lalu,
bagaimana dengan negara Indonesia? Indonesia tentu tidak perlu repot menciptakan teknologi seperti itu. Sebab tanah kita
sudah sangat subur, kita dapat menanam buah
apel, anggur, dan mangga kapan saja. Lalu mengapa Indonesia tidak bisa menjadi
eksportir apel, anggur, dan mangga seperti Mesir? Nah, itu lah dia yang aneh bin ajaib. Bahkan, Indonesia
telah berhasil menunjukkan
prestasinya kepada dunia bahwa bangsa Indonesia mampu menjadi importir beras meskipun lahan persawahan dan
peradaban padi suku Jawa tiada tandingannya di
dunia. Sungguh sangat memprihantinkan.
Di sisi lain, kekayaan alam Indonesia
diobrak abrik oleh orang asing. Orang pribumi malah
hanya menjadi tamu di negeri sendiri. Menjadi pesuruh, menjadi budak untuk merealisasikan mimpi-mimpi
orang asing. Sungguh pun demikian, pemerintah
juga seolah-olah memberikan peluang yang besar untuk menumbuhkembangkan perusahaan asing di negeri
ini. Akibatnya, sumber daya alam (SDA) di negeri
ini hanya numpang singgah. Selebihnya, semua dieksploitasi oleh orang asing. Mereka
menjadikan SDA kita sebagai bahan mentah dan mengirim
kembali ke negara kita dalam bentuk barang jadi. Hal seperti ini juga telah menjadikan pola hidup
masyarakat Indonesia semakinkonsumtif.
Menyikapi persoalan di atas, tentu
penyebab utamanya berkenaan dengan kreativitas SDM
Indonesia. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali sejauh mana pendidikan di Indonesia menempatkan kreativitas
dalam proses belajar mengajarnya. Apakah
pendidikan kita sudah mengarah kepada pembentukan SDM yang memiliki inovasi dan kreativitas yang
tinggi ataukah sebaliknya? Hal ini penting
dilakukan, karena hanya dengan kreativitas lah suatu bangsa dapat bertahan dan bersaing di era globalisasi ini.
Selain itu, berdasarkan tinjauan yang dilakukan tersebut
akan dapat dirumuskan bagaimana upaya untuk meningkatkan kreativitas SDM melalui Pendidikan.

KREATIVITAS DALAM DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA
Dunia pendidikan Indonesia nampaknya belum memberikan porsi yang
cukup untuk pengembangan kreativitas peserta
didik. Sebab, pendidikan Indonesia lebih fokus pada
pengembangan aspek kognitif. Aspek lainnya seperti psikomotorik dan afektif dirasa kurang mendapat tempat. Hal ini tentu bertolak belakang jika dikaitkan
dengan konsepsi Pendidikan dewasa ini.
Pasalnya, pendidikan Indonesia akhir-akhir ini memang telah melirik pentingnya aspek psikomotorik dan afektif.
Apalagi sejak dicetuskannya revitalisasi pendidikan karakter, menjamurnya
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan dengan
berlakunya kurikulum 2013. Hanya saja, jika dilihat dari output yang dihasilkan, maka akan terlihat jelas
bahwa Pendidikan Indonesia memang tidak ramah
dengan pengembangan kreativitas peserta didik.
Secara konsepsional, pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat
jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan
mandiri, serta memiliki tanggungjawab kemasyarakatan dan kehidupan. Namun, pada kenyataannya hal ini
dapat dikatakan masih anganangan. SDM yang dihasilkan cenderung kurang inovatif
dan kreatif. Akibatnya, SDM tersebut tidak
mampu bertahan dan menjadi tertinggal dalam persaingan global. Tentu saja kualitas SDM yang demikian
belum mampu merealisasikan tujuan konseptual
pendidikan tersebut.
Untuk mencapai tujuan konseptual pendidikan tersebut, hendaknya pelaksanaan pendidikan tidak hanya berorientasi
pada aspek kognitif, melainkan juga harus
mempertimbangkan aspek psikomotorik dan afektif (Isjoni, 2012; dan Hamzah, 2012). Pendidikan yang hanya
berorientasi pada aspek kognitif akan membunuh kreativitas
peserta didik. Akibatnya, SDM yang dihasilkan tidak mampu berkreasi dan berinovasi dalam mengelola
SDA yang dimiliki.
Aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif merupakan aspek pengembangan peserta didik yang saling mendukung
satu sama lain. SDM baru dapat dikatakan
berkualitas jika tingkah lakunya sudah mencerminkan ketiga aspek ini. Aspek kognitif erat kaitannya dengan
aktivitas mental, yakni penguasaan konsep
dasar keilmuan (content objectivies) berupa materi-materi esensial sebagai konsep kunci dan prinsip
utama. Aspek psikomotorik berkaitan dengan keterampilan
fisik, yakni kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pembelajaran tertentu. Sementara itu,
aspek afektif berkaitan dengan sikap dan nilai yang
berorientasi kepada penguasaan dan kepemilikikan dan kecakapan proses atau metode (Hamzah, 2012).
PENGARUH KREATIVITAS TERHADAP KUALITAS BANGSA
Kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dengan kemampuannya menjadi leader dalam persaingan global. Dalam era serba
modern ini, hanya bangsa yang berkualitas saja
yang dapat bertahan. Bangsa berkualitas tentu memiliki SDM yang berkualitas pula. SDM yang berkualitas
tersebutlah yang kemudian akan menjadi ujung tombak
ekonomi dan pembangunan dalam suatu bangsa. SDM yang berkualitas merupakan SDM yang memiliki
keterampilan yang memadai.
Keterampilan tersebut akan memiliki daya guna yang lebih jika dilengkapi dengan kreativitas. Hal ini
dibutuhkan agar keterampilan tersebut tidak monoton atau hanya mengikuti alur konsep yang
sudah ada. Dengan kreativitas, dimungkinkan muncul
inovasi-inovasi baru yang lebih sesuai untuk menjawab berbagai kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Sejalan dengan hal itu, Nuh (2013) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif dan berpikir orde tinggi
sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan dunia ke
depan yang semakin kompleks dan rumit. Kemampuan untuk menemukan
gagasan dan pemecahan baru adalah sine qua non dari pencapaian tujuan, apa pun tujuan itu. Melalui kreativitas
inilah akan lahir produktivitas dan inovasi. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kreativitas berperan penting dalam peningkatan kualitas suatu bangsa.
Kualitas suatu bangsa akan semakin membaik seiring
dengan meningkatnya kreativitas SDM.
KREATIVITAS DAN UPAYA MENUMBUHKANNYA
Apa kreativitas itu dan bagaimana menumbuhkannya? Ada ribuan anggitan mengenai kreativitas. Secara umum kreativitas dapat diartikan
sebagai kemampuan seseorang untuk berpikir,
bersikap, dan bertindak tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa guna memecahkan persoalan
tertentu, sehingga dapat menghasilkan penyelesaian
yang maksimal dan bermanfaat. Adapun prosesnya dapat berupa kemampuan melihat sesuatu dengan cara
yang lain atau dari sudut yang tak terlihat
sebelumnya.
Orang yang kreatif cenderung berpikir dan memandang sesuatu secara divergen (menghasilkan banyak kemungkinan jawaban) dan analogis (membandingkan
satu hal dengan hal-hal lain yang berbeda-beda). Mereka mampu melihat hubungan-hubungan tersembunyi
yang mungkin tidak dapat dilihat oleh orang lain (Nuh, 2013). Dengan demikian, mereka
menyelesaikan masalah-masalah
dengan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dan mungkin belum terpikirkan oleh orang lain.
Sebagai contoh, negara Mesir yang kering kerontang menciptakan teknologi pertanian yang memungkinkan
mereka dapat menanam berbagai buah-buahan. Hal
ini adalah bentuk kreativitas untuk mengatasi keterbatasan yang ada sehingga mampu menyamakan kedudukan
dengan negara lain dalam bidang pertanian.
Dalam dunia pendidikan, khususnya yang terkait dengan pembelajaran, kreativitas menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan. Tidak hanya
guru, peserta didik juga dituntut
untuk memiliki kreativitas dalam belajar. Hal ini disebabkan karena pembelajaran bukanlah transfer
pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan proses aktif yang melibatkan interaksi antara peserta
didik, guru, dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar (Fathurrohman dan Sulistyorini, 2012; dan Suyono dan Hariyanto, 2012).
Peserta didik perlu dilatih berpikir kreatif. Hal ini bertujuan
agar mereka terbiasa berpikir divergen dan mencoba
berbagai alternatif untuk memecahkan masalah. Sebagaimana yang diungkapkan Nuh (2013) bahwa logika
berpikir kreatif akan berpengaruh terhadap
perilaku sosial. Anak-anak yang terbiasa dihadapkan pada satu jawaban benar setiap menjumpai persoalan,
mereka cenderung bersikap fanatik dan ekslusif.
Akibatnya, tumbuhlah pola pikir dan sikap “hitam putih”: pemikiranku benar, yang lain salah.
Sebaliknya, mereka yang terbiasa dengan berbagai ide dan kemungkinan alternatif jawaban
terhadap setiap persoalan akan
cenderung toleran dan terbuka.
Bagaimana menumbuhkan kreativitas peserta didik? Tentu kreativitas peserta didik akan terbentuk dari interaksi belajar mengajar yang
kreatif pula. Dalam hal ini guru
menjadi sentral proses kreatif. Oleh karena itu, guru harus mampu mendesain pembelajaran yang dapat
menumbuhkembangkan kreativitas peserta didik.
Berkaitan dengan masalah di atas, pendidikan di Indonesia masih diselimuti oleh rendahnya imajinasi dan kreativitas guru dalam
mengajar. Penyebabnya tentu tidak tunggal, melainkan banyak faktor. Tetapi,
faktor yang paling dominan
adalah ketergantungan yang tinggi terhadap bahan ajar dan instruksi-instruksi tiada henti dari kepala
sekolah, pengawas, dan dinas terkait kurikulum (Baedowi, 2015). Tuntutan kurikulum dirasa lebih banyak
bersifat formal dan kaku sehingga menghambat
kreativitas guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar yang kreatif dan menyenangkan.
Padahal, kreativitas adalah anugerah Tuhan yang hampir pasti
dimiliki oleh setiap manusia. Hanya saja,
perkembangannya dapat terhambat oleh faktor-faktor tententu. Menurut Baedowi
(2015), ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kreativitas, yakni faktor keturunan dan
faktor lingkungan. Jika mencermati realitas yang
ada, kreativitas guru lebih banyak dihambat oleh faktor lingkungan dan sistem pendidikan yang melihat
kurikulum secara tidak kreatif.
Karena faktor lingkungan, guru cenderung kaku dengan aturan pendidikan yang tertuang dalam kurikulum. Sehingga guru lebih memilih sikap “following rules” demi menyelamatkan diri dari penilaian
pengawas. Kebiasaan ini tentu akan membunuh kreativitas guru, karena mereka tidak berani
mendobrak aturan. Sebagaimana yang
ditegaskan Baedowi (2015) bahwa aturan harus dipecah dan ditabrak untuk berinovasi. Hal ini memang
beresiko. Jadi, apa yang mesti dilakukan? Menabrak aturan mental. Kita selalu dapat menentang
aturan tertentu tanpa harus
melanggarnya. Dalam proses kreatif ini, kita akan menemukan bahwa
banyak hal inovatif dapat dicapai jika aturan
kita terjemahkan secara kreatif. Persoalan selanjutnya, nyaris tak ada keberanian dari para guru
untuk melawan aturan secara
kreatif.
Selain faktor di atas, guru juga memiliki penyakit lain, yakni
kekhawatiran berlebih sehingga takut untuk mencoba.
Paradigma seperti ini harus dibuang jauhjauh jika ingin menjadi guru yang
kreatif. Memang, berpikir dengan cara baru memiliki banyak resiko. Tetapi, kalau tidak
dicoba, maka kita tidak akan pernah maju dan berkembang.
Terkadang ada juga guru yang merasa bisa dan mampu untuk berpikir kreatif, tetapi enggan untuk bergerak dan melakukannya. Omong doang
(omdo), talk more do less, NATO (no action, talk only), begitulah gambaran untuk guru tersebut. Padahal, tuntutan zaman
semakin kompleks, kreativitas SDM menjadi penentu peradaban bangsa.
Faktor lain yang menghambat kreativitas adalah takut terlihat
bodoh. Sikap takut terlihat bodoh adalah kendala terbesar
dalam berpikir kreatif. Dalam suatu pertemuan atau rapat, pernahkan kita takut atau ragu-ragu
untuk berbicara tentang ide besar
yang muncul dalam pikiran kita? Hampir kita semua demikian. Kita tidak berbicara karena takut dikritik.
Setiap orang adalah kritikus yang ulung dalam rapat. Setiap ide-ide baru dan hebat dibabat habis, diserang,
dan ditembak jatuh. Apalagi jika
serangan tersebut dilancarkan oleh seorang senior. Tentu tembakanannya akan masuk ke dalam lubang di
mana ide baru itu muncul. Akibatnya ide-ide baru yang kreatif tidak bisa direalisasikan dan
lebih parahnya, muncullah sikap
enggan menyampaikan gagasan kreatif karena takut dikritik. Oleh karena itu, sikap tenang, mendengarkan,
memperhatikan, dan menghargai ide orang lain menjadi sangat penting untuk menumbuhkembangkan
kreativitas.
Selanjutnya, untuk menumbuhkan kreativitas juga diperlukan latihan berpikir kreatif. Tanpa latihan, pola pikir kreatif tidak dapat
berkembang. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Paramitasari (2011: 98) bahwa latihan berpikir kreatif dapat dilakukan dengan
membiarkan pikiran bekerja secara simultan dengan hasil yang diharapkan berupa ide apa pun yang
muncul, tidak hanya satu. Sebanyak
apa pun dan sejelek apa pun, hasil pemikiran kreatif ini sebaiknya dicatat sehingga dapat dikembangkan
dikemudian hari. Proses ini juga
sering disebut sebagai brainstorming.
Dalam berpikir kreatif, sebaiknya kita tidak memikirkan terlebih
dahulu baik atau buruknya suatu ide. Kunci utamanya
adalah dengan menghilangkan penilaian agar berpikir kreatif dapat efektif. Hal ini diyakini
dapat menjadi solusi atas faktor-faktor yang menghambat kreativitas guru dalam mengajar.
Dengan latihan-latihan yang konsisten,
kreativitas dapat ditingkatkan.[]
BAHAN RUJUKAN
Baedowi, Ahmad. 2015. Calak Edu 4: Esai-Esai Pendidikan 2012-2014. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Fathurrohman, Muhammad dan Sulistyorini. 2012. Belajar dan Pembelajaran: Meningkatkan Mutu Pembelajaran Sesuai Standar Nasional. Yogyakarta: Teras.
Hamzah, Syeh Hawib. 2012. Aspek Pengembangan Peserta Didik (Kognitif, Afektif, Psikomotorik). Samarinda: Jurnal Dinamika Ilmu IAIN Samarinda. Vol. 12, No. 1, Juni 2012.
Isjoni. 2012. Memajukan Bangsa dengan Pendidkan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nadjib, Emha Ainun. 2015. Kagum Kepada Orang Indonesia. Yogyakarta: Bentang.
Nuh, Mohammad. 2013. Menyemai Kreator Peradaban: Renungan tentang Pendidikan, Agama, dan Budaya. Jakarta: Zaman.
Paramitasari, Dyah Retno. 2011. Cara Instan Melatih Daya Ingat untuk Menciptakan Pribadi yang Tangguh dan Brillian. Jakarta: Agogos Publishing.
Suyono dan Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tags
Pendidikan