Makalah Lengkap Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud

TEORI KEPRIBADIAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Karya sastra merupakan salah satu manipestaasi dari manusia sebagai pengarangnya. Hal ini dapat dikatan demikian karena dalam karya sastra juga terdapat gambaran kehidupan manusia, layaknya manusia nyata (dalam penokohan yang bersifat realisitis), walaupun ada juga yang sifatnya naratif (dalam penokohan yang sifatnya naratif). Selain itu, karya sastra juga mengandung pembelajaran moral dan nilai-nilai yang penting dalam kehidupan masyarakat. Seperti misalnya di Pulau Lombok, karya sastra kerap kali digunakan sebagai media untuk menyebarkan agama, terutama digunakan pada masa-masa penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.
Untuk dapat memetik pembelajaran yang terkandung dalam karya sastra, tentu dibutuhkan metode-metode dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dengan adanya metode yang pas, kita daoat membedah karya sastra sesuai kebutuhan kita. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode psikologi sastra, yakni melihat sastra dari sudut pandang psikologi.
Dengan menggunakan prikologi sastra, kita dapat membedah karya sastra yang berkaitan dengan psikologi pengarang, psikologi karya sastra, dan psikologi tokoh yang ada dalam karya sastra tersebut. Tentu akan sangat menarik ketika kita menghubungkan realitas kehidupan yang kita alami dengan kehidupan yang digambarkan dalam karya sastra. Kita dapat memetik pembelajaran meengenai banyak hal, misalnya mengenai cara tokoh atau pengarang menyelesaikan masalah/konflik dalam kehidupannya.
Berdasarkan paparan di atas, tidaklah salah jika peneliti mengkaji teori psikoanalisis Sigmund Freud sebagai salah satu bagian dari Psikologi Sastra. Kajian ini bertujuan untuk memaparkan konsep dasar teori psikoanalisis Sigmund Freud dan hubungannya dengan sastra. Hanya saja, kajian ini terbatas karena luasnya cakupan dari teori ini, maka langkah-langkah atau metode analissi karya sastra melalui teori psikoanalisis Sigmund Freud tidak dapat dipaparkan dalam kajian ini. Pembatasan ini dimaksudkan demi ketuntasan pembahasan. Selain itu, hal ini juga bertujuan agar pembahasan dalam kajian ini dapat dimaksimalkan, hingga dapat memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu sastra dan psikologi.

B.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam kajian ini disajikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1.     Bagaimanakah konsep dasar teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud?
2.     Bagiamanakah hubungan sastra dengan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud?

C.      Tujuan Kajian
Setiap kajian ilmiah maupun penelitian pasti memiliki tujuan. Adapun tujuan kajian mengenai teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud ini adalah sebagai berikut.
1.     Mengatahui konsep dasar teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud, dan
2.     Mengetahui hubungan sastra dengan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.

D.      Manfaat Kajian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan kajian di atas, maka manfaat yang diharapkan dalam kajian ini akan disajikan sebagai berikut.
1.     Dapat dijadikan sebagai informasi tambahan mengenai teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.
2.     Dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis karya sastra menggunakan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.
3.     Menambah khazanah keilmuan dalam bidang sastra.
  BAB II
PEMBAHASAN

A.      Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud
1.     Ihwal Psikoanalisis Sigmund Freud
Freud (lahir di Freiberg pada tahun 1856 dan meninggal di London tahun 1939) memulai karir psikoanalitisnya pada tahun 1896. Setelah beberapa tahun ia menjadi dokter, Freud tidak pernah merasa puas dengan cara ia mengobati pasien. Ia berpikir untuk mengubah cara mengobati pasien. Jika selama menjadi dokter ia mencoba melakukan terapi medis, Freud berpikir melakukan semacam upaya psikoterapik untuk sebagian besar pasiennya yang ternyata lebih banyak mengalami tekanan jiwa. Terapi itu disebutnya sebagai psikoanalisis. Hal inilah yang menjadi cikal bakal perkembangan teori psikoanalisis.
Psikoanalisis adalah disiplin ilmu di bidang psikologi yang berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Psikoanalisis, mendasarkan pemikirannya pada proses bawah sadar yang membetuk perilaku dan segala penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar. Psikoanalisis tidak bertujuan atau mencari apapun kecuali penemuan tentang alam bawah sadar dalam kehidupan mental.
a.     Alam Bawah Sadar
Freud menyatakan bahwa pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh alam bawah sadar (unconscious mind) ketimbang alam sadar (conscious mind). Ia melukiskan bahwa pikiran manusia seperti gunung es yang justru sebagian terbesarnya ada di bawah permukaan laut yang tidak dapat ditangkap dengan indera. Ia mengatakan kehidupan seseorang dipenuhi oleh berbagai tekanan dan konflik; untuk meredakan tekanan dan konflik tersebut manusia rapat menyimpannya di alam bawah sadar.
Freud merasa yakin bahwa perilaku seseorang kerap dipengaruhi oleh alam bawah sadar yang mencoba memunculkan diri, dan tingkah laku itu tampil tanpa disadari. Menurut Freud, hasrat tak sadar selalu aktif, dan selalu siap muncul. Kelihatannya hanya hasrat sadar yang muncul, tetapi melalui suatu analisis ternyata ditemukan hubungan antara hasrat sadar dengan unsur kuat yang datang dari hasrat taksadar. Hasrat yang timbul dari alam taksadar yang direpresi selalu aktif dan tidak pernah mati.
Freud menghubungkan kondisi bawah sadar dengan gejala-gejala neurosis. Aktivitas bawah sadar tertentu dari suatu gejala neurosis memiliki makna yang sebenarnya terdapat dalam pikiran. Namun, gejala neurosis tersebut akan diketahui setelah gejala tersebut muncul ke alam sadar yang sesungguhnya merupakan gambaran gejala neurosis yang diderita seseorang di alam bawah sadarnya.

b.     Teori Mimpi
Mimpi adalah fenomena mental. Fenomena mental tersebut merupakan ucapan dan perilaku orang yang bermimpi, tapi mimpi orang tersebut tidak bermakna bagi kita dan kita juga tidak bisa memahaminya. Namun, dalam kasus mimpi, orang bermimpi selalu mengatakan dia tidak tahu apa makna mimpinya. Tapi, Freud menyakini bahwa ada kemungkinan yang cukup besar bahwa orang yang bermimpi tersebut mengetahui apa makna mimpinya. Hanya saja dia tidak tahu bahwa dia mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa.
Selanjutnya, Freud percaya bahwa mimpi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya, mimpi merupakan representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita sehari-hari. Demikian hebatnya derita karena konflik dan ketegangan yang dialami sehingga sulit diredakan melalui alam sadar, maka kondisi tersebut akan muncul dalam alam mimpi tak sadar.
Alam mimpi merupakan bagian ketidaksadaran manusia yang memberikan kebebasan tak terbatas meski simbolisasi dalam mimpi mendapatkan pertentangan oleh dunia realitas, karena dalam mimpi, si pemimpi tidak dapat membatasi impian yang akan dimunculkan. Mimpi sebagai perilaku ketidaksadaran, dalam kesadaran muncul dalam bentuk lamunan. Lamunan tidak harus selalu tidur karena lamunan bawah sadar juga ada. Lamunan bawah sadar serupa dengan sumber mimpi dari gejala neurosis.

2.     Pengertian Kepribadian
Telah banyak pakar yang mencoba memberikan anggitan mengenai kepribadian. Santrock dalam Minderop (2016: 4) mengemukakan bahwa kepribadian adalah karakteristik seseorang dalam beradaptasi dan berkompromi dalam masyarakat. Karakteristik tersebut berupa pembawaan yang tercakup dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku.  Di pihak lain, Krech dalam sumber yang sama meemberikan batasan mengenai kepribadian. Ia mengungkapkan bahwa kepribadian berarti kualitas nalar dan karakter seseorang yang terbentuk menjadi pola tertentu yang membedakan ia dengan individu lainnya.
Selanjutnya, Minderop sendiri mengungkapkan bahwa kepribadian adalah suatu intergrasi dari semua aspek kepribadian yang unik dari seseorang menjadi organisasi yang unik, yang menentukan, dan dimodifikasi oleh upaya seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang selalu berubah. Jika dicermati, ketiga anggitan mengenai kepribadian tersebut memang memiliki perbedaan satu sama lain. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan persepsi atau pemikiran antar tokoh-tokohnya.
Dalam psikologi, terdapat tiga aliran pemikiran yang berkaitan dengan teori kepribadian. Ketiga aliran tersebut adalah aliran psikoanalisis, aliran behaviorisme, dan aliran humanistik. Masing-masing aliran tersebut memiliki karakteristik dan sudut pandang yang berbeda. Dalam kajian yang sederhana ini, perlu ditegaskan kembali bahwa kepribadian akan dilihat dari sudut pandang psikoanalisis. Sedangkan pandangan behaviorisme dan humanisme tidak akan dibahas dalam kajian ini.
Menurut pandangan psikoanalisis, istilah kepribadian berkaitan dengan pengutamaan alam bawah sadar (unconscious) yang berada di luar sadar, yang membuat struktur berpikir diwarnai oleh emosi. Mereka beranggapan, perilaku seseorang sekedar wajah permukaan karakteristiknya, sehingga untuk memahami secara mendalam kepribadian seseorang, harus diamati gelagat simbolis dan pikiran yang paling mendalam dari orang tersebut. Selain itu, mereka juga mempercayai bahwa pengalaman masa kecil individu bersama orang tua telah membentuk kepribadian kita.

3.     Struktur Kepribadian
Freud membagi struktur keprbadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id terletak di bagian taksadar. Id merupakan reservoir pulsi dan menjadi sumber energi psikis. Ego terletak di antara alam bawah sadar dan taksadar yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan superego. Sementara itu, superego terletak di bagian sadar dan sebagian lagi terletak di bagian taksadar. Superego bertugas untuk mengawasi dan menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua.
Untuk memudahkan pemahaman, mari kita ibaratkan Id sebagai raja/ratu, ego sebagai menteri, dan superego sebagai ulama. Id sebagai raja/ratu berlaku sebagai penguasa yang absolut, harus dihormati, harus dipatuhi, sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya harus terlaksana. Ego sebagai menteri diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan harus tanggap terhadap kepentingan masyarakat. Dengan kalimat lain, ego sebagai menteri diibaratkan sebagai penghubung antara kepentingan raja/ratu dengan kebutuhan masyarakat. Sementara itu, superego sebagai ulama adalah seseorang yang selalu penuh dengan pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk serta harus selalu mengingatkan si Id yang rakus dan serakah bahwa perilaku yang arif dan bijaksana jauh lebih penting.
Id adalah energi psikis dan naluri yang menakan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, seks, menolak rasa sakit atau tidak nyaman, dan lain-lain. Id, berada dalam alam bawah sadar dan tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan.
Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh kepada realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Ego berada di antara alam sadar dan bawah sadar. Tugas ego adalah memberi tempat pada mental utama untuk melakukan penalaran, penyelesaian masalah, pengambilan keputusan, dan sebagainya. Ego menolong manusia untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Misalnya, seorang remaja pengangguran yang ingin mendapat uang dengan cepat, id-nya meminta dirinya untuk mencopet. Namun, ego mencegahnya untuk melakukan pencopetan karena pertimbangan jika ia mencopet, maka ia akan dipukuli orang banyak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahw ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian manusia; layaknya seorang pimpinan perusahaan yang mampu mengambil keputusan demi kemajuan perusahaan.
Selanjutnya, struktur kepribadian yang ketiga, yaitu superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience).

4.     Dinamika Kepribadian
Tingkat kehidupan mental dan wilayah pikiran mengacu pada struktur atau komposisi kepribadian. Sehingga, Freud mengusulkan sebuah dinamika atau prinsip motivasional untuk menerangkan kekuatan-kekuatan yang mendorong tindakan manusia. Bagi Freud, manusia termotivasi untuk mencari kesenangan serta menurunkan ketegangan dan kecemasan. Motivasi ini diperoleh dari energi psikis dan fisik dari dorongan-dorongan dasar yang mereka miliki.
a.     Insting Sebagai Energi Psikis
Insting adalah perwujudan psikologi dari kebutuhan tubuh yang menuntut pemuasan misalnya insting lapar berasal dari kebutuhan tubuh secara fisiologis sebagai kekurangan nutrisi, dan secara psikologis dalam bentuk keinginan makan. Hasrat, atau motivasi, atau dorongan dari insting secara kuantitatif adalah energi psikis dan kumpulan enerji dari seluruh insting yang dimiliki seseorang merupakan enerji yang tersedia untuk menggerakkan proses kepribadian. Enerji insting dapat dijelaskan dari sumber (source), tujuan (aim), obyek (object) dan daya dorong (impetus) yang dimilikinya.
1)      Sumber insting: adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan. Tubuh menuntut keadaan yang seimbang terus menerus, dan kekurangan nutrisi misalnya akan mengganggu keseimbangan sehingga memunculkan insting lapar.
2)      Tujuan insting: adalah menghilangakan rangsangan kejasmanian, sehingga ketidakenakan yang timbul karena adanya tegangan yang disebabkan oleh meningkatnya energi dapat ditiadakan. Misalnya, tujuan insting lapar (makan) ialah menghilangkan keadaan kekurangan makan, dengan cara makan.
3)      Objek insting: adalah segala aktivitas yang menjadi perantara keinginan dan terpenuhinya keinginan itu. Jadi tidak hanya terbatas pada bendanya saja, tetapi termasuk pula cara-cara memenuhi kebutuhan yang timbul karena isnting itu. Misalnya, obyek insting lapar bukan hanya makanan, tetapi meliputi kegiatan mencari uang, membeli makanan dan menyajikan makanan itu.
4)      Pendorong atau penggerak insting: adalah kekuatan insting itu, yang tergantung kepada intensitas (besar-kecilnya) kebutuhan. Misalnya, makin lapar orang (sampai batas tertentu) penggerak insting makannya makin besar.

b.     Jenis-Jenis Insting
1)     Insting Hidup (Life Instinct)
Insting hidup disebut juga eros adalah dorongan yang menjamin survival dan reproduksi, seperti lapar, haus, dan seks. Bentuk energi yang dipakai oleh insting hidup itu disebut “libido”. Walaupun Freud mengakui adanya bermacam-macam bentuk insting hidup, namun dalam kenyataannya yang paling diutamakan adalah insting seksual (terutama pada masa-masa permulaan sampai kira-kira tahun 1920). Dalam pada itu sebenarnya insting seksual bukanlah hanya untuk satu insting saja, melainkan sekumpulan insting-insting, karena ada bermacam-macam kebutuhan jasmaniah yang menimbulkan keinginan-keinginan erotis.
2)     Insting Mati (Death Instinct)
Insting mati disebut juga insting-insting merusak (destruktif). Insting ini berfungsinya kurang jelas jika dibandingkan dengan insting hidup, karenanya tidak begitu dikenal. Akan tetapi adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa tiap orang itu pada akhirnya akan mati juga. Inilah yang menyebabkan Freud merumuskan bahwa “tujuan semua hidup adalah mati” (1920). Suatu derivatif insting mati yang terpenting adalah dorongan agresif. Sifat agresif adalah pengrusakan diri yang diubah dengan objek subtitusi.

Insting hidup dan insting mati dapat saling bercampur, saling menetralkan. Makan misalnya merupakan campuran dorongan makan dan dorongan destruktif, yang dapat dipuaskan dengan menggigit, menguyah dan menelan makanan.

c.      Kecemasan (anxiety)
Kecemasan (anxiety) adalah variabel penting dari hampir semua teori kepribadian. Kecemasan sebagai dampak dari konflik yang menjadi bagian kehidupan yang tak terhindarkan, dipandang sebagai komponen dinamika kepribadian yang utama. Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Biasanya reaksi individu terhadap ancaman ketidaksenangan dan pengrusakan yang belum dihadapinya ialah menjadi cemas atau takut. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang mengamankan ego karena memberi sinyal ada bahaya di depan mata.
Kecemasan akan timbul manakala orang tidak siap menghadapi ancaman. Hanya ego yang bisa memproduksi atau merasakan kecemasan. Akan tetapi, baik id, superego, maupun dunia luar terkait dalam salah satu dari tiga jenis kecemasan: realistis, neurotis dan moral. Ketergantungan ego pada id menyebabkan munculnya kecemasan neurosis, sedangkan ketergantungan ego pada superego memunculkan kecemasan moral, dan ketergantungannya pada dunia luar mengakibatkan kecemasan realistis.
1)     Kecemasan Realistis (Realistic Anxiety)
Kecemasan realistik adalah takut kepada bahaya yang nyata ada di dunia luar. Kecemasan ini menjadi asal muasal timbulnya kecemasan neurotis dan kecemasan moral.
2)     Kecemasan Neurotis (Neurotic Anxiety)
Kecemasan neurotis adalah ketakutan terhadap hukuman yang bakal diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya kalau seseorang memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakininya bakal menuai hukuman. Hukuman belum tentu diterimanya, karena orang tua belum tentu mengetahui pelanggaran yang dilakukannya, dan misalnya orang tua mengetahui juga belum tentu menjatuhkan hukuman. Jadi, hukuman dan figur pemberi hukuman dalam kecemasan neurotis bersifat khayalan.
3)     Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Kecemasan moral adalah kecemasan kata hati, kecemasan ini timbul ketika orang melanggar standar nilai orang tua. Kecemasan moral dan kecemasan neurotis tampak mirip, tetapi memiliki perbedaan prinsip yakni: tingkat kontrol ego pada kecemasan moral orang tetap rasional dalam memikirkan masalahnya sedang pada kecemasan neurotis orang dalam keadaan distres – terkadang panik sehingga mereka tidak dapat berfikir jelas.
5.     Mekanisme Pertahanan dan Konflik
Freud mengartikan mekanisme pertahanan ego (ego defense mechanism) sebagai strategi yang digunakan individu untuk mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan bisa dikurangi atau diredakan.
Menurut Freud mekanisme pertahanan ego itu adalah mekanisme yang rumit dan banyak macamnya, adapun mekanisme yang banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari ada tujuh macam, yaitu:
a.     Identifikasi (Identification)
Cara mereduksi tegangan dengan meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya. Diri orang lain diidentifikasi tetapi cukup hal-hal yang dianggap dapat membantu mencapai tujuan diri. Terkadang sukar menentukan sifat mana yang membuat tokoh itu sukses sehingga orang harus mencoba mengidentifikasi beberapa sifat sebelum menemukan mana yang ternyata membantu meredakan tegangan. Apabila yang ditiru sesuatu yang positif disebut Introyeksi.
Mekanisme pertahanan identifikasi umumnya dipakai untuk tiga macam tujuan, yaitu:
1)     Merupakan cara orang dapat memperoleh kembali sesuatu (objek) yang telah hilang.
2)     Untuk mengatasi rasa takut.
3)     Melalui identifikasi orang memperoleh informasi baru dengan mencocokkan khayalan mental dengan kenyataan.
b.     Pemindahan/ Reaksi Kompromi (Displacement/ Reactions Compromise)
Manakala objek kateksis asli yang dipilih oleh insting tidak dapt dicapai karena ada rintangan dari luar (sosial, alami) atau dari dalam (antikateksis) insting itu direpres kembali ke ketidaksadaran atau ego menawarkan kateksis baru, yang berarti pemindahan enerji dari obyek satu ke obyek yang lain, sampai ditemukan obyek yang dapat mereduksi tegangan.
Proses mengganti obyek kateksis untuk meredakan ketegangan, adalah kompromi antara tuntutan insting id dengan realitas ego, sehingga disebut juga reaksi kompromi. Ada tiga macam reaksi kompromi, yaitu:
1)     Sublimasi adalah kompromi yang menghasilkan prestasi budaya yang lebih tinggi, diterima masyarakat sebagai kultural kreatif.
2)     Subtitusi adalah pemindahan atau kompromi dimana kepuasan yang diperoleh masih mirip dengan kepuasan aslinya.
3)     Kompensasi adalah kompromi dengan mengganti insting yang harus dipuaskan. Gagal memuaskan insting yang satu diganti dengan memberi kepuasan insting yang lain.
c.      Represi (Repression)
Represi adalah proses ego memakai kekuatan anticathexes untuk menekan segala sesuatu (ide, insting, ingatan, fikiran) yang dapat menimbulkan kecemasan keluar dari kesadaran.
d.     Fiksasi dan Regresi (Fixation and Regression)
Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan tertentu karena perkembangan lanjutannya sangat sukar sehingga menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat. Orang memilih untuk berhenti (fiksasi) pada tahap perkembangan tertentu dan menolak untuk bergerak maju, karena merasa puas dan aman ditahap itu.
Frustasi, kecemasa dan pengalaman traumatik yang sangat kuat pada tahap perkembangan tertentu, dapat berakibat orang regresi : mundur ke tahap perkembangan yang terdahulu, dimana dia merasa puas disana.
Perkembangan kepribadian yang normal berarti terus bergerak maju atau progresif. Munculnya dorongan yang menimbulkan kecemasan akan direspon dengan regresi. Orang yang puas berada ditahap perkembangan tertentu, tidak mau progres disebut fiksasi. Progresi yang gagal membuat orang menarik diri atau regresi
e.     Proyeksi (Projection)
Proyeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotis atau moral menjadi kecemasan realistis, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam dipindahkan ke obyek di luar, sehingga seolah-olah ancaman itu terproyeksi dari obyek eksternal kepada diri orang itu sendiri.
f.      Introyeksi (Introjection)
Introyeksi adalah mekanisme pertahanan dimana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain ke dalam egonya sendiri. Misalnya, seorang anak yang meniru gaya tingkahlaku bintang film menjadi introyeksi, kalau peniruan itu dapat meningkatkan harga diri dan menekan perasaan rendah diri, sehingga anak itu merasa lebih bangga dengan dirinya sendiri. Pada usia berapapun, manusia bisa mengurangi kecemasan yang terkait dengan perasaan kekurangan dengan cara mengadopsi atau melakukan introyeksi atas nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan perilaku orang lain.
g.     Pembentukan Reaksi (Reaction Formation)
Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran, misalnya benci diganti cinta, rasa bermusuhan diganti dengan ekspresi persahabatan. Timbul masalah bagaimana membedakan ungkapan asli suatu impuls dengan ungkapan pengganti reaksi formasi: bagaimana cinta sejati dibedakan dengan cinta-reaksi formasi. Biasanya reaksi formasi ditandai oleh sifat serba berlebihan, ekstrim, dan kompulsif
6.     Klasifikasi Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan. Selain itu, kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah timbunya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas. Perasaan bersalah dan menyesal, rasa malu serta cinta juga termasuk ke dalam klasifikasi emosi.

7.     Teori Seksualitas
Di antara beberapa aspek pemikiran Freud, ia memberi tempat khusus pada masalah seksualitas, dan masalah ini pula yang banyak menimbulkan kritik dan penolakan terhadap dirinya. Banyak orang memahami seksualitas berkaitan semata pada masalah alat-alat reproduksi. Penolakan besar-besaran terhadap Freud terjadi ketika ia membahas masalah seksualitas pada anak-anak. Orang berpendapat, mana mungkin anak-anak memiliki pengalaman yang berhubungan dengan seksualitas. Bagi freud, masalah seksualitas lebih jauh, lebih luas, dan lebih awal usianya daripada sekedar seksualitas genital.
Freud membedakan tiga periode kehidupan seksual infantil: pertama periode kegiatan seksual awal, didominasi oleh oto-erotisme, yaitu menemukan kesenangan melalui daerah erogen. Kedua, periode laten (periode waktu seksualitas masih tersembunyi) berlangsung sejak anak berusia empat tahun sampai masa pubertas, dan yang ketiga adalah periode pubertas adalah masa kepuasan seksual tertambat pada cara kerja organ genital.
Dengan adanya teori ini, Freud sampai pada konsep narsisme dan ekshibisionisme. Narsisme adalah suatu konsep di mana anak menganggap dirinya sebagai objek cinta secara menyeluruh. Dengan kalimat lain, narsisme sesungguhnya ialah perilaku seseorang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek yang dicintai sebagai akibat dari delusi kebesaran yang diakibatkan oleh libido ‘objek keinginan seksualnya’. Istilah narsisme ini dipinjam dari kondisi yang digambarkan P. Nacke, yang didalamnya seorang individu dewasa mencurahkan pada tubuhnya sendiri semua cumbuan yang biasanya hanya dicurahkan pada objek seksual selain dirinya. Selanjutnya, terdapat pula konsep ekshibisionisme, dimana anak-anak juga mencari objek seksualnya kepada orang lain dengan cara mengintip atau memperlihatkan.

B.      Sastra dan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Sepanjang abad ke-20, penerapan teori psikoanalisis Sigmund Freud telah banyak digunakan dalam menganalisis karya sastra. Hanya saja, dengan adanya keterkaitan antara sastra dengan psikologi, terjadinya kekeliruan dan kesalahpahaman dalam penerapan teori ini tidak dapat dihindari. Pertama, para peneliti dengan sangat bersemangat menggiring telaah sastra terlalu dalam ke wilayah psikologi, sehingga meninggalkan hakikat sastra itu sendiri. Kedua, peneliti kerap kali melakukan telaah karya sastra melalui pendekatan psikologis yang berujung pada hasil analisis yang berbau mistis. Ketiga, peneliti yang bergumul di dalam bidang psikologi seringkali tidak memahami kaidah dalam menelaah karya sastra secara komprehesif.
 
BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.      Konsep dasar teori psikoanalisis Sigmund Freud berkaitan dengan alam bahwa sadar, teori mimpi, struktur kepribadian, dinamika kepribadian, metode pertahanan dan konflik, klasifikasi emosi, dan teori seksualitas.
2.      Teori psikoanalisis Sigmund Freud sering digunakan oleh para peneliti untuk menkaji karya sastra. Hanya saja terdapat beberapa kekurangan dalam pengkajian tersebut, yaitu: Pertama, para peneliti dengan sangat bersemangat menggiring telaah sastra terlalu dalam ke wilayah psikologi, sehingga meninggalkan hakikat sastra itu sendiri. Kedua, peneliti kerap kali melakukan telaah karya sastra melalui pendekatan psikologis yang berujung pada hasil analisis yang berbau mistis. Ketiga, peneliti yang bergumul di dalam bidang psikologi seringkali tidak memahami kaidah dalam menelaah karya sastra secara komprehesif.

B.      Saran
Kajian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, pengkajian selanjutnya diharap dapat dilakukan dengan serius dan cakupannya lebih luas. Selain itu, pengkajian selanjutnya juga perlu memaparkan tahapan-tahapan atau metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisis karya sastra dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud.



DAFTAR PUSTAKA


Faruk. 2015. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Minderop, Albertine. 2016. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

2 Comments

Previous Post Next Post

Contact Form