BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa Sasak merupakan bahasa yang
digunakan oleh suku Sasak yang tinggal di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Pulau ini memiliki luas sekitar 4.725 km2 dengan jumlah penduduk
mencapai 3.434.708 jiwa (berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2016). Adapun
wilayah di Pulau Lombok terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, yaitu
Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten
Lomok Utara, dan Kota Mataram. Mayoritas penduduk di pulau ini menggunakan
bahasa Sasak untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nazir Thoir, dkk (1981), bahasa Sasak dibagi menjadi lima dialek,
yaitu: dialek Ngeno Ngene,
dialek Ngeto Ngete, dialek
Meno Mene, dialek Ngeno
Mene, dan dialek Mriak Mriku. Pembagian
dialek yang diusulkan oleh Nazir tersebut didasarkan pada ciri
kebahasaan (leksikon) yang
digunakan untuk merealisasikan glos ‘begini-begitu”.
Dalam perkembangannya, penelitian yang dilakukan oleh Nazir Thoir, dkk tersebut
terbantahkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mahsun pada tahun 2006. Mahsun
mengungkapkan bahwa tidak ada kekonsistenan dalam penyebutan dan pembagian
dialek tersebut jika didasarkan pada ciri kebahasaan yang digunakan untuk
merealisasikan glos ‘begini begitu’. Hal ini disebabkan karena apabila pakar
yang membagi dialek bahasa Sasak itu konsisten terhadap bentuk-bentuk yang
menjadi realisasi makna di atas, maka seharusnya dialek dalam bahasa Sasak akan
terbagi menjadi 22 atau 23 dialek, karena berdasarkan hasil penelitian, makna
‘begini’ dalam bahasa Sasak direalisasikan dalam 22 bentuk, sedangkan makna
‘begitu’ direalisasikaan dalam 23 bentuk (Yulida, 2008: 20).
Selanjutnya, dalam penelitiannya, Mahsun
membagi dialek bahasa Sasak menjadi empat dialek, yaitu dialek Bayan, dialek
Pujut, dialek Selaparang, dan dialek Aiq Bukaq. Pembagian ini didasarkan pada
pengkajian dengan menggunakan berkas isoglos dari beberapa daerah pengamatan
yang dianggap dapat mewakili seluruh wilayah pemakaian bahasa Sasak. Kemudian,
Mahsun mengamati ciri linguistik yang menjadi penanda dialek yang telah
ditentukan tersebut dengan melihat relasi vokal [a] pada silabe ultima dan
penultima dalam sebuah kata. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, keempat
dialek tersebut masing-masing dapat pula disebut sebagai dialek [a-a] untuk
dialek Bayan, dialek [a-«] untuk dialek Pujut, dialek [«-«] untuk dialek Selaparang, dan dialek [a-o] untuk
dialek Aiq Bukaq. Sebagai contoh realisasi vokal tersebut dalam kata, misalnya
untuk glos ‘dada’ dalam dialek Bayan disebut [dada], untuk dialek Pujut disebut
[dad«], untuk dialek Selaparang disebut [d«d«], dan untuk dialek Aiq Bukaq disebut [dado] (Yulida,
2008: 21).
Terlepas dari perbedaan dialek tersebut,
bahasa Sasak juga mengenal adanya tingkatan bahasa, meskipun masyarakat di
pulau Lombok sendiri tidak memiliki tingkatan/kasta dalam masyarakatnya. Adapun
tingkatan dalam bahasa Sasak terdiri dari tiga tingkatan, yaitu: bahasa Sasak
kasar, bahasa Sasak sedang (madya), dan bahasa Sasak halus (utami). Penggunaan
ketiga tingkatan bahasa ini disesuaikan dengan situasi dan konteks pengguna
bahasa tersebut. Pada awalnya, bahasa Sasak halus (henceforth: BSH) hanya digunakan oleh kalangan menak (sebutan untuk bangsawan suku Sasak) untuk berkomunikasi
antar sesama menak dan dengan
masyarakat biasa. Uniknya, masyarakat biasa tidak wajib menggunakan BSH untuk
berkomunikasi dengan para menak
ataupun dengan masyarakat biasa lainnya (Hidayat, 2010: 254). Namun, seiring
dengan perkembangan zaman, kini penggunaan BSH tidak lagi terbatas pada
kalangan tertentu saja, tetapi sudah bergeser ke kelompok-kelompok sosial
lainnya, seperti kelompok tuan guru, pejabat, mamiq (sebutan bagi orang Sasak yang sudah naik haji), tokoh
masyarakat hingga masyarakat biasa. Pada umumnya, masyarakat biasa menggunakan
BSH sebagai bentuk honorifik (penghormtan)
dan humilifik (perendahan), namun
penggunaannya terbatas pada kosa kata tertentu saja.
BSH dipandang memiliki prestise yang lebih
tinggi dibanding dengan bahasa Sasak kasar dan sedang (madya). Orang yang
terbiasa menggunakan BSH akan tercemin dari tutur katanya yang lembut, watak
dan perilakunya yang halus dan sopan sesuai dengan bahasa yang digunakannya.
Hal ini menujukkan bahwa penggunaan bahasa sehari-hari dapat mengubah pola
pikir dan tingkah laku penuturnya sebagaimana teori determinisme linguistik
yang diungkapkan oleh Shapir-Whorf (Nababab, 1984: 8; Chaer dan Agustina, 2010:
166 Thomas dan Wareing, 2007: 38; dan Sumarsono, 2014: 59). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2010), penggunaan BSH di kalangan
masyarakat umum suku Sasak juga dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan
konflik-konflik yang terjadi di masyarakat suku Sasak, sebab penggunaan BSH
dapat memberikan doktrin pada penuturnya untuk saling menghargai dan
menghormati orang lain dengan lebih baik dan tulus.
Berdasarkan paparan di atas, tidaklah
salah jika peneliti memilih BSH sebagai objek penelitian. Hal ini disebabkan
karena belum adanya ahli bahasa yang menjadikan variasi bahasa tersebut sebagai
objek penelitian, terutama dalam aspek morfologis. Selain itu, penelitian ini
juga dimaksudkan sebagai upaya pelestarian bahasa tersebut agar tetap hidup dan
berkembang di masyarakat penuturnya. Mengingat penggunaan BSH di kalangan
masyarakat Sasak dewasa ini sudah sangat berkurang.
Selanjutnya, penelitian ini dikhususkan
pada aspek morfologi BSH, yaitu perubahan verba dari dasar nomina. Perubahan
verba dari dasar nomina dalam kajian bahasa termasuk dalam kajian morfologi
derivasional. Pembentukan derivasional adalah pembentukan yang menghasilkan
kata baru yang berbeda dari dasarnya atau pembentukan yang menyebabkan
terjadinya perubahan identitas leksikal. Dengan kalimat lain, dapat dikatakan
bahwa pembentukan kata secara derivasional tidak hanya dilihat dari perubahan
kelas kata, tetapi ada juga pembentukan kata yang tidak merubah kelas kata,
namun merubah arti leksikalnya. Sebagai contoh, misalnya kata cangkul (N) → mencangkul (V) termasuk proses derivasi karena mengubah kelas kata
dari N menjadi V. Contoh lain misalnya kata lurah
(N) → kelurahan (N) termasuk proses
derivasi walaupun tidak mengubah kelas kata, akan tetapi identitas leksikal
berupa fitur semantis dari kedua kata tersebut mengalami perubahan.
Dalam penelitian ini, hal-hal yang dikaji
di dalamnya dibatasi pada pembentukan verba dari dasar nomina melalui proses
afiksasi. Adapun pembentukan melalui proses reduplikasi dan komposisi tidak
akan dibahas dalam penelitian ini. Hal ini bertujuan demi ketuntasan
pembahasan. Pembatasan ini juga dimaksudkan agar penelitian ini dapat
dilaksanakan secara maksimal dan hasilnya dapat memberikan sumbangsih yang
berarti bagi perkembangan ilmu linguistik, khususnya morfologi bahasa Sasak.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini
disajikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimanakah
tipe-tipe pembentukan verba dari dasar nomina dalam BSH?
1.2.2
Bagaimanakah
proses morfofonemik yang terjadi dalam pembentukan verba dari dasar nomina
dengan tipe-tipe tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
tujuan penelitian ini dapat diperikan sebagai berikut.
1.3.1
Mengetahui
tipe-tipe pembentukan verba dari dasar nomina dalam BSH.
1.3.2
Mengetahui
proses morfofonemik yang terjadi dalam pembentukan verba dari dasar nomina
dengan tipe-tipe tersebut.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki sumbangsih
yang berarti dalam perkembangan ilmu linguistik, khususnya morfologi bahasa
Sasak. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1.4.1
Manfaat Teoritis
a. Sebagai informasi
tambahan bagi mahasiswa maupun pemerhati bahasa untuk melakukan
penelitian-penelitin terkait.
b. Sebagai bahan
perbandingan dalam studi bahasa secara kontrastif.
c. Menambah kekayaan ilmu
linguistik di bidang morfologi, khususnya morfologi bahasa daerah.
1.4.2
Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan pengajaran
morfologi bahasa daerah.
b. Sebagai referensi
tambahan dalam mempelajari BSH.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DAN LANDASAN TEORI
2.1
Penelitian yang Relevan
Penelitian yang mengkaji aspek morfologi
bahasa sudah sering dilakukan oleh beberapa ahli linguistik. Begitu juga dengan
morfologi bahasa Sasak. Akan tetapi, penelitian yang mengkhususkan kajiannya
pada BSH belum pernah dilakukan. Adapun penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan dalam aspek morfologi bahasa sasak, antara lain pernah dilakukan oleh
Ratna Yulida (2008) dalam tesisnya yang berjudul Sistem Verba Bahasa Sasak Dialek Bayan dari Dasar Verba dan Nomina,
Muhammad Sukri (2008) dengan judul {m«N-} sebagai Afiks
Derivasional dan Infleksional dalam Bahasa Sasak Dialek Kuto-Kute, dan lain-lain. Penelitian-penelitian tersebut
mengkhususkan kajiannya pada dialek-dialek tertentu yang ada dalam bahasa
Sasak.
Penelitian-penelitian yang disebutkan di
atas memiliki hubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Begitupun dengan
penelitian ini. Walaupun terdapat perbedaan dalam dialek-dielak yang digunakan,
namun perbedaan sistem morfologinya tidak begitu signifikan. Sebagai gambaran
mengenai penelitian-penelitian tersebut, lihatlah perian di bawah ini!
2.1.1
Sistem Verba Bahasa Sasak Dialek
Bayan dari Dasar Verba dan Nomina oleh Ratna Yulida (2008)
Dalam penelitian ini ditemukan enam afiks
yang mampu berdistribusi dengan verba dan nomina dalam pembentukan verba bahasa
Sasak dialek Bayan. Keenam verba tersebut terdiri dari tiga prefiks, yaitu:
{N-}, {te-} dan {be-}; dua sufiks, yaitu {-ang} dan {-in}; dan satu konfiks,
yaitu {ke-an}. Selanjutnya, dalam pembentukan
verba bahasa Sasak dialek Bayan dari dasar verba kelas I
ditemukan 11 pola, pola N-DVI, te-DVI, be- DVI, DVI-ang, DVI-in, keDVI-an, be-DVI-an, N-DVI-ang, N-DVI-in, te-DVI-ang, dan te-DVI-in. Pola pembentukan verba dari verba kelas II
terdapat 8 pola, yaitu: N-DV2, DV2-ang, DV2-in, ke-DV2-an, N-DV2-ang, N-DV2-in, te-DV2-ang, dan te-DV2-in. Pola pembentukan Verba dari nomina terdapat 8
pola, yaitu: N-DN, be-DN, DN-ang, DN-in, N-DN ang, N-DN-in, te-DN-ang, dan
te-DN-in. Masing-masing pola tersebut telah diuraikan dengan fungsi, arti, dan
produktivitasnya dalam tesis tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Yulida ini memang telah banyak
membahas mengenai perubahan verba dari dasar nomina dalam bahasa Sasak dialek
Bayan. Hanya saja, antara bahasa Sasak dialek Bayan dengan BSH memiliki kosa
kata yang berbeda dan sistem morfologi yang berbeda pula, walaupun perbedaannya
tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan sebagai
penelitian lanjutan untuk melihat aspek morfologis dalam bahasa Sasak,
khususnya BSH.
2.1.2
{m«N-} sebagai Afiks
Derivasional dan Infleksional dalam Bahasa Sasak Dialek Kuto-Kute oleh Muhammad
Sukri (2008)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Muhammad Sukri ini, ditemukan bahwa afiks {m«N-} dalam bahasa Sasak dialek Kuto-Kute mampu berfungsi
sebagai afiks derivasional dan infleksional. Kemampuannya sebagai afiks
derivasional dibuktikan melalui fungsi derivatif afiks {m«N-} ketika melekat dengan bentuk dasar nomina dan
mengubahnya menjadi verba, afiks {m«N-} yang melekat pada verba dan mengubahnya menjadi
nomina, serta afiks {m«N-} yang melekat pada adjektiva dan mengubahnya menjadi
verba. Adapun {m«N-} berfungsi infleksi ketika dilekatkan pada bentuk
dasar yang berkategori verba.
Secara eksplisit, penelitian ini memang
telah menyinggung perubahan verba dari dasar nomina dalam bahasa Sasak,
khususnya bahasa Sasak dialek Kuto-Kute. Hanya saja afiks yang digunakan dalam
penelitian tersebut sangat terbatas, yakni hanya menggunakan afiks {m«N-}. Selain itu, perbedaan BSH dengan bahasa Sasak
dialek Kuto-Kute cukup signifikan, terutama dalam kosa kata. Oleh karena itu,
hasil penelitian ini belumlah memadai untuk mengungkapkan tipe-tipe yang dapat
digunakan dalam proses afiksasi untuk membentuk verba dari dasar nomina dalam
BSH, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
2.2
Konsep dan Landasan Teori
2.2.1
Proses Morfologis
Proses morfologis adalah proses
pembentukan kata melalui mekanisme penggabungan morfem yang satu dengan morfem
lainnya yang menjadi dasar (Sukri, 2008: 53; Muslich, 2014: 32; dan Sumadi,
2012: 66). Pembentukan kata tersebut oleh para pakar bahasa dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: pembentukan kata secara derivasi dan pembentukan secara
infleksi. Pembentukan secara derivasional adalah pembentukan kata yang
menghasilkan kata atau leksem baru yang memiliki kelas yang berbeda dari
dasarnya atau yang berubah arti leksikalnya. Sedangkan pembentukan secara
infleksional adalah pembentukan kata yang tidak mengubah kelas kata maupun arti
leksikal dari dasarnya (bandingkan Sukri, 2008: 44; Subroto, 2012: 10;
Purnanto, 2006: 137; Ba’dulu dan Herman, 2005: 11; Verhaar, 2012: 117, 121, 143;
dan Abdullah, 2012: 130). Misalnya dalam bahasa Indonesia, kata cangkul (N) → mencangkul (V) termasuk proses derivasi karena mengubah kelas kata
dari N menjadi V; kata camat (N) →
kecamatan (N) juga termasuk ke dalam proses derivasi walaupun kelas katanya
tidak mengalami perubahan, akan tetapi arti leksikal dari kata tersebut
berubah. Kata camat (N) memiliki
fitur semantis bernyawa, dapat bergerak, manusia, punya pikiran (Pak camat Sujono). Sedangkan kecamatan (N) memiliki fitur semantis
tak bernyawa, bukan manusia, menyangkut sistem pemerintahan di tingkat kecamatan
yang memiliki wilayah dan perangkat tertentu.
Dalam penelitian ini, pembentukan verba
dari dasar nomina tentu termasuk ke dalam kajian morfologi derivasional. Hal
ini disebabkan karena adanya perubahan kelas kata dari dasar nomina menjadi
verba. Perubahan kelas kata tersebut pada umumnya dilakukan melalui proses afiksasi.
Namun, ada juga beberapa ahli yang menyatakan bahwa pemajemukan/komposisi juga
termasuk salah satu tipe derivasi. Selain itu, dalam beberapa bahasa, perubahan
tersebut juga dimungkinkan melalui proses derivasi zero. Derivasi zero atau
konversi sebagaimana yang dikemukakan oleh Edi Subroto (2012, 16) merupakan
pembentukan yang menghasilkan leksem berbeda tanpa perubahan bentuk. Misalnya
leksem gunting (N) menjadi leksem gunting (V). Leksem gunting (N) terlihat dalam kalimat “Ibu membeli gunting baru”, sedangkan leksem gunting (V) terdapat dalam kalimat “Gunting kertas itu”. Hal ini dapat terlihat pada pola berikut ini.
gunting (N) → gunting (V)
1)
Gunting kain itu.
2)
Amir
menggunting kain itu.
3)
Kain
itu digunting (oleh) Amir.
4)
Kain
itu kugunting.
5)
Kain
itu kugunting dengan apa?
Jadi, pembentukan dari leksem gunting (N) menjadi gunting (V) termasuk derivasional melalui proses derivasi zero.
Sedangkan realisasi leksem gunting (V)
menjadi bentuk gunting, menggunting,
digunting, kugunting, dan kugunting
termasuk infleksional karena dapat diramalkan berdasarkan kaidah sintaksis.
Selanjutnya, yang menjadi persoalannya
adalah dalam proses derivasi zero itu, manakah yang menjadi input (dasar) dan manakah yang menjadi output
(bentukan). Dalam kaitan ini,
peneliti sependapat dengan pendapat Marchand dalam Edi Subroto (2012: 17).
Marchand menyatakan bahwa satuan yang definisi semantisnya bergantung pada
satuan lain disebut keluaran (output)
dan yang lain sebagai masukan (input).
Misalnya, tuturan “gunting kain itu”
berarti ‘potong kain itu dengan gunting’.
Jadi, tuturan tersebut mengasumsikan adanya satuan “gunting”. Oleh karena itu, gunting
(V) dianggap sebagai keluaran, sedangkan gunting (N) dianggap sebagai masukan.
2.2.2
Kata Kerja (Verba)
Telah banyak pakar yang mencoba memberikan
anggitan mengenai verba. Semua pakar sependapat bahwa verba adalah kelas kata
yang menunjukkan suatu tindakan atau perbuatan atau keadaan (Yulida, 2008: 45).
Selanjutnya, Hasan Alwi, dkk (2003: 87) memberikan batasan verba sebagai
berikut:
1) Verba memiliki fungsi utama
sebagai predikat.
2) Verba memiliki makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau
keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Verba keadaan sering sulit dibedakan
dari adjektiva karena kedua jenis kata itu mempunyai banyak persamaan. Bahkan
dapat dikatakan bahwa verba keadaan yang tidak tumpang tindih dengan adjektiva
jumlahnya sedikit. Satu ciri yang biasanya dapat membedakan keduanya ialah
bahwa prefiks adjektiva {t«r-} yang berarti paling tidak dapat dilekatkan pada
verba keadaan. Dari adjektiva dingin
dan sulit dapat dibentuk kata terdingin dan tersulit, tetapi tidak dapat diimbuhkan pada verba keadaan seperti *tersuka. Contoh lain dari verba keadaan
ini adalah kata mati dan hidup.
3) Pada umumnya verba tidak
dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan.
Kridalaksana (2005: 51) menegaskan bahwa
untuk mengetahui suatu kata berkategori verba atau tidak, dapat dilihat melalui
perilakunya dalam satuan yang lebih besar, misalnya frase, klausa atau kalimat.
Selain itu, verba juga dapat didampingi oleh leksem tidak dalam suatu
konstruksi, akan tetapi verba tidak dapat didampingi dengan preposisi ke, dari,
dan di atau dengan leksem sangat, lebih, dan agak. Begitupun dalam BSH, verba
dapat didampingi dengan leksem nenten [nEnt«n] ‘tidak’
dalam suatu konstruksi. Misalnya verba merem
[m«r«m] ‘tidur’ dapat didampingi dengan leksem nenten dan membentuk konstruksi nenten merem ‘tidak tidur’. Selain itu,
verba dalam BSH juga tidak dapat didampingi oleh preposisi jok [jok] ‘ke’, leman [lEman] ‘dari’, dan leq [le?] ‘di’. Misalnya
dalam konstruksi *jok nangis [jok naNIs] ‘ke
nangis’, *leman nangis [lEman naNIs] ‘dari nangis,
*leq nangis [le? naNIs] ‘di nangis’. Dalam konstruksi-konstruksi tersebut,
Nampak jelas bahwa verba nangis [naNIs] ‘nangis’
tidak dapat didampingi oleh preposisi ke, dari, dan di.
Dalam penelitian ini, verba akan dibagi
menjadi dua, yaitu verba transitif dan intransitif. Verba transitif adalah
verba yang membutuhkan objek dalam suatu konstruksi, sedangkan verba
intransitif adalah verba yang tidak membutuhkan objek dalam konstruksinya.
Misalnya dalam BSH terdapat kata dahar [dahar] ‘makan’, kata makan jelas membutuhkan
objek, oleh karena itu verba tersebut termasuk verba transitif. Sementara itu,
contoh verba intransitif dalam BSH adalah kata margi [margi] ‘pergi’,
kata pergi dapat berdiri sendiri dalam suatu konstruksi tanpa membutuhkan
objek.
2.2.3
Kata Benda (Nomina)
Kridalaksana (2005: 68) menjelaskan bahwa
nomina adalah kategori yang secara sintaksis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tidak memiliki potensi
untuk bergabung dengan leksem tidak, namun dapat bergabung dengan leksem bukan.
Misalnya, *tidak guru yang tepat adalah bukan guru. Berbeda dengan BSH, antara leksem
tidak dan bukan sama-sama dinyatakan dengan leksem nenten [nEnt«n] 'tidak/bukan'.
Akan tetapi, untuk menyatakan makna bukan, leksem nenten harus diikuti oleh pronomina persona lekat kanan, yaitu ye [y«] ‘dia’. Misalnya dalam konstruksi nenten ye guru [nEnt«n y« guru] ‘bukan
guru’
2) Mempunyai potensi untuk
didahului oleh preposisi dari, ke, dan di. Misalnya kita dapat mengatakan dari
pasar, ke pasar, dan di pasar. Begitu juga dalam BSH, nomina dapat diikuti
dengan preposisi jok [jok] ‘ke’, leman [lEman] ‘dari’,
dan leq [le?] ‘di’. Misalnya jok bangket [jok
baNk«t] ‘ke
sawah’, leman bangket [lEman baNk«t] ‘dari
sawah’, dan leq bangket [le? baNk«t] ‘di
sawah’.
2.2.4
Proses Morfofonemik
Proses morfofonemik adalah perubahan
bentuk fonemis akibat pertemuan antara sebuah morfem dengan morfem di sekitarnya
(Sumadi, 2012: 141). Hal itu terjadi karena gejala bentuk semata-mata sehingga
bersifat mengatasi jenis-jenis kata dan karena bersifat sistematis sehingga
terdapat kaidah-kaidah yang bersifat mengatur.
Di pihak lain, Sukri (2008, 75)
mengungkapkan bahwa morfofonemik adalah studi mengenai struktur dari morfem
(kombinasi fonem yang memungkinkan dalam morfem suatu bahasa tertentu), variasi
fonemik yang dialami morfem kombinasi satu dengan yang lain. Sukri juga
menegaskan bahwa morfofonemik mempelajari perubahan-perubahan fonem/segmen yang
terjadi sebagai akibat persinggungn/pertemuan morfem satu dengan morfem
lainnya. Dengan kalimat lain, pertemuan morfem A dengan morfem B telah
mengakibatkan perubahan fonem/segmen (fonem itu bisa hilang, fonem itu bisa
juga bertambah, serta fonem itu bisa berubah) (bandingkan Alwasilah, 2011: 113).
Ramlan (1980: 52) menjelaskan bahwa
morfofonemik membahas perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan
morfem dengan morfem lain. Morfem {b«r-} jika bertemu
dengan morfem {ajar} akan berubah menjadi {belajar}. Fonem /r/ pada morfem {b«r-} berubah menjadi fonem /l/. Abdul Chaer (2003: 196)
menambahkan, perubahan fonem pada proses morfofonemik dapat berwujud: (1)
pemunculan fonem, (2) pelesapan fonem, (3) peluluhan fonem, (4) perubahan
fonem, dan (5) pergeseran fonem. Pemunculan fonem terlihat pada pengimbuhan
prefiks {m«N-} dengan bentuk dasar baca menjadi membaca; di mana
terlihat muncul konsonan sengau /m/. Pelesapan fonem terlihat pada pengimbuhan
sufiks {-wan} pada bentuk dasar sejarah menjadi sejarawan; fonem /h/ pada kata
sejarah lesap. Peluluhan fonem terlihat pada proses pengimbuhan dengan prefiks
{m«N-} pada kata sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat
itu diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ñ/ dari prefiks tersebut.
Proses perubahan fonem terlihat pada proses pengimbuhan prefiks {b«r-} pada kata ajar menjadi belajar; di mana fonem /r/
berubah menjadi /l/. Proses pergeseran fonem merupakan pindahnya sebuah fonem
dari silabe yang satu ke silabe yang lain sebagai akibat dari proses
morfologis. Contohnya kata dasar jawab jika diberikan sufiks {-an} akan menjadi
jawaban. Fonem /b/ yang semula berada pada silabe kedua berpindah ke silabe
ketiga.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif adalah
pendekatan yang digunakan untuk memerikan gejala bahasa seperti apa adanya. Dengan
kalimat lain, pendekatan deskritif kualitatif merupakan pendekatan yang
dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena yang
secara empiris hidup dalam penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang
dicatat adalah perian bahasa seperti apa adanya.
3.2
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini berhubungan
dengan masalah penutur. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahsun (2012: 28), dalam
hubungannya dengan masalah penutur, populasi adalah keseluruhan individu yang
menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang akan diteliti dan menjadi sasaran
penarikan generalisasi tentang seluk beluk bahasa tersebut. Adapun populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat tutur BSH yang tersebar di Pulau
Lombok.
Mengingat banyaknya jumlah masyarakat
tutur BSH yang ada di Pulau Lombok, perlu ditetapkan sampel dari populasi
tersebut. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengumpulan data. Adapun sampel
dalam penelitian adalah beberapa orang informan yang memenuhi syarat
sebagaimana diungkapan oleh Edi Subroto dalam Ratna Yulida (2008: 56), yaitu:
a.
Informan
merupakan penutur aktif BSH yang sehat jasmani dan rohani, serta berpendidikan
minimal sekolah dasar;
b.
Bersedia
bekerja sama dengan ikhlas dan senang hati untuk memberikan data kebahasaan
selama penelitian berlangsung;
c.
Bersedia
menyediakan waktu yang cukup longgar untuk diwawancarai; dan
d.
Bukan
guru bahasa atau mahasiswa, namun merupakan pemerhati bahasa khususnya BSH.
Selain menggunakan informan dengan syarat-syarat
seperti di atas, peneliti sebagai penutur aktif BSH juga memanfaatkan intuisi
kebahasaan yang dimilikinya dalam penyediaan data kebahasaan tersebut.
3.3
Metode Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data-data kebahasaan yang berupa tuturan lisan dalam BSH.
Data dalam penelitian ini terbatas pada tuturan lisan saja. Ha ini disebabkan
karena data berupa tulisan dalam BSH sangat jarang ditemukan.
Adapun metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sadap. Metode
ini dilaksanakan dengan cara menyimak penggunaan bahasa antara satu orang
dengan orang lain yang menggunakan BSH, kemudian menyadap atau mengambil data
kebahasaan tanpa sepengetahuan orang yang sedang berbicara tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar data yang diperoleh peneliti betul-betul konkret sesuai
keadaan kebahasaan yang sesungguhnya.
Selanjutnya, untuk mendukung metode di
atas, digunakanlah teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik
rekam. Teknik simak libat cakap sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad (2011:
196) dilakukan dengan cara ikut berpartisipasi dalam pembicaraan sambil
menyimak isi pembicaraan. Sementara itu, teknik rekam dimaksudkan untuk
mengecek ulang kebenaran data kebahasaan yang diperoleh. Teknik rekam ini
dilakukan dengan cara merekam pembicaraan menggunakan smartphone.
Sebagai penutur aktif BSH, peneliti juga
tidak lupa untuk menggunakan metode intospeksi. Dengan metode introspeksi ini,
peneliti berupaya melibatkan atau memanfaatkan sepenuh-penuhnya, secara
optimal, peran peneliti sebagai penutur BSH tanpa meleburlenyapkan peran
kepenelitian itu (Sudaryanto dalam Mahsun, 2012: 102).
3.4
Metode Penganalisisan Data
Metode analisis data merupakan hal yang
tidak kalah pentingnya dalam sebuah penelitian. Ketepatan metode yang digunakan
akan berpengaruh terhadap hasil penelitian. Adapun yang dimaksud dengan metode
analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam
suatu pola, kategori, dan satuan uraian (Muhammad, 2011: 211). Setelah data
terkumpul, data tersebut kemudian ditranskripsikan secara ortografis dan
fonetis. Setelah itu, baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk
mempermudah pemahaman.
Dalam penelitian ini, terdapat dua metode
yang dilakukan dalam analisis data, yaitu metode distribusional dan metode
padan ekstralingual. Adapun kedua metode tersebut akan dipaparkan sebagai
berikut.
3.4.1
Metode Padan Ekstralingual
Metode
padan ekstralingual sebagaimana dikemukakan oleh Mahsun (2012:
120) merupakan metode yang dipakai untuk menentukan identitas satuan lingual tertentu dengan alat penentu di luar bahasa
(bandingkan Muhammad, 2011: 224; dan Subroto dalam Yulida, 2008: 67). Metode
ini dibagi menjadi lima teknik, yaitu: teknik referensial, teknik fonetis
artikulatoris, teknik translasional, teknik ortografi, dan teknik pragmatis (Sudaryanto
dalam Yulida, 2008: 67). Dari kelima teknik tersebut, hanya satu teknik yang
digunakan dalam penelitian ini, yakni teknik referensial.
Dengan teknik referensial ini peneliti berkontemplasi, memikirkan, kemudian mencocokkan satuan lingual
tertentu dengan referennya. Lebih jauh dijelaskan bahwa identitas satuan
lingual tertentu ditentukan berdasarkan kesepadanan, kesesuaian, kecocokan
atau kesamaan antara arti konsep yang terkandung dalam kata itu dengan
referennya. Dalam pada itu, dijelaskan pula bahwa teknik referensial
menjadikan logika spekulatif sebagai dasarnya sehingga tidak terhindar adanya
rumusan-rumusan yang goyah, tidak mantap, tidak konsisten. Dalam hal ini, terdapat
kebiasaan bahwa kata benda adalah kata yang menunjuk pada benda,
kata kerja adalah kata yang menyatakan kegiatan, perbuatan, tindakan atau
peristiwa tertentu, kata sifat adalah kata yang menyatakan
keadaan, kualitas, sifat, situasi tertentu, kata bilangan adalah kata yang tertentu.
Teknik referensial dalam penelitian ini digunakan sebagai teknik sampingan untuk membantu peneliti mengklasifikasikan data- data
sesuai dengan referennya. Selanjutnya data-data
tersebut dicari tanda-tanda morfologis dan sintaksisnya. Misalnya kata margi [margi] ’pergi’ dalam BSH dapat ditentukan
kategorinya menurut ciri morfologisnya. Kata tersebut memperlihatkan kekhasan
yang menunjukkan tindakan dan perbuatan. Selanjutnya kata margi tersebut dapat dimasukkan dalam kategori verba karena kata tersebut dapat diikuti
dengan kata nenten [nEntEn] 'tidak', nenten margi yang berarti 'tidak pergi'.
3.4.2
Metode Distribusional
Metode distribusional mempunyai beberapa
teknik dalam penerapannya, yaitu: teknik urai unsur terkecil, urai unsur
langsung, oposisi pasangan minimal, oposisi dua-dua, penggantian atau
substitusi, perluasan, pelepasan (delisi), penyisipan (interupsi), dan
pembalikan urutan (permutasi parafrasis). Dalam penelitian ini, teknik yang
digunakan adalah teknik urai unsur terkecil dan teknik oposisi dua-dua.
Teknik urai unsur terkecil adalah teknik
penguraian terhadap suatu satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecilnya.
Dalam hal ini, yang dimaksud unsur terkecil adalah unsur terkecil yang
mempunyai makna yang disebut morfem. Dengan menggunakan teknik ini, peneliti
dapat mengetahui unsur-unsur yang membentuk suatu kata bentukan. Misalnya dalam
bahasa Sasak terdapat kata ngawis [NawIs] ‘menyabit’. Dengan teknik urai unsur terkecil,
maka kata bentukan ngawis tersebut
dapat diuraikan menjadi morfem prefiks {N-} + /awis/ → ngawis. Dengan demikian,
dapat diamati bahwa kata bentukan ngawis (V)
dibentuk melalui pelekatan morfem prefiks {N-} dengan bentuk
dasar awis (N) [awIs] ‘sabit’.
Sementara itu, teknik oposisi dua-dua
adalah oposisi antara dua kategori morfologis, di mana kategori yang satu
mengandung nilai kategorial tertentu yang dinyatakan dengan porsede morfologis
(kaidah pembentukan secara sinkronis), sedangkan yang lainnya tidak. Kategori
yang mengandung nilai kategorial tertentu disebut kategori bertanda (marked), sedangkan yang lainnya disebut
kategori tak bertanda (unmarked).
Dengan kalimat lain, dapat dikatakan bahwa, kategori bertanda adalah kategori
yang memiliki ciri tertentu, sedangkan kategori tak bertanda ialah yang tidak
menyatakan apapun mengenai terdapat atau tidaknya ciri tertentu.
Dalam penelitian ini, teknik oposisi
dua-dua digunakan oleh peneliti untuk
membedakan makna afiks satu dengan yang lain. Dalam penelitian morfologi, teknik ini digunakan untuk memerikan
pembentukan kata secara sistematik dengan prosede-prosede
morfologis tertentu dan identitas masing-masing kata hasil pembentukan. Sebagai contoh, misalnya dalam BSH terdapat oposisi sebagai
berikut:
antos
[antos] ‘tunggu’ ˃˂ teantos [t«antos] ‘ditunggu’
iring
[IrIN]
‘ikut’ ˃˂ teiring [t«IrIN] ‘diikuti’
dahar [dahar] ‘makan’ ˃˂ tedahar [t«dahar] ‘dimakan’
bukaq [buka?]
‘buka’ ˃˂ tebukaq [t«buka?] ‘dibuka’
sermin [s«rmIn] ‘lihat’ ˃˂ tesermin [t«s«rmIn] ‘dilihat’
bait [bait]
‘ambil’ ˃˂ tebait [t«bait] ‘diambil’
bace [bac«] ‘baca’ ˃˂ tebace [t«bac«] ‘dibaca’
Oposisi-opisisi
di atas termasuk ke dalam kategori morfologis yang sama, karena sama-sama
mengandung ciri bentuk {t«-}
yang berhubungan dengan ciri semantis yang sama, yaitu ‘dikenai’.
3.5
Metode Penyajian Hasil Penganalisisan
Data
Hasil penganalisisan data disajikan secara
informal dan formal. Secara informal, data disajikan menggunakan kata-kata
biasa, termasuk pengguunaan terminologi yang bersifat teknis. Sedangkan Secara
formal data disajikan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang. Adapun tanda-tanda
atau lambang-lambang yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
a.
BSH
digunakan untuk menyatakan Bahasa Sasak Halus.
b.
V
digunakan untuk menyatakan kelas kata kerja (verba).
c.
N
digunakan untuk menyatakan kelas kata benda (nomina).
d.
Kurung
kurawal ({…}) digunakan untuk menyatakan bahwa satuan di dalamnya adalah morfem
afiks.
e.
Tanda
trem (→) digunakan untuk menyatakan
menjadi dalam suatu konstruksi tertentu.
f.
Tanda
plus (+) digunakan untuk menyatakan
kombinasi antara suatu bentuk dengan bentuk lain.
g.
Tanda
asteris (*) digunakan untuk menyatakan suatu bentuk yang tidak gramatikal atau
tidak berterima dan diletakkan sebelum tuturan.
h.
Tanda
kurung siku ([…]) digunakan untuk menyatakan bahwa satuan di dalamnya adalah
satuan fonetis atau penulisan secara fonetis.
i.
Tanda
garis miring (/…/) digunakan untuk menyatakan bahwa satuan di dalamnya adalah
fonem.
j.
Tanda
petik (‘…’) digunakan untuk menyatakan bahwa satuan di dalamnya adalah glos
atau arti dari suatu bentuk kebahasaan.
k.
Tanda
oposisi (˃˂) digunakan untuk menyatakan bahwa suatu satuan
lingual beroposisi dengan satuan lingual di sebelah kananya.
l.
Lambang-lambang
fonetis seperti «, E, N, ñ, , U, dan I.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Wakir, dkk. 2012. Pembentukan Verba dari Dasar Nomina dalam Bahasa Indonesia.
In: Jurnal Linguistik Indonesia Edisi Agustus 2012 Nomor 2.
Alwasilah,
A. Chaedar. 2011. Beberapa Mazhab dan
Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Penerbit Angkasa.
Alwi,
Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Azhar,
Lalu Muhammad. 1997. Kamus Bausastrǎ:
Sasak – Indonesia dan Indonesia – Sasak. Klaten: PT. Intan Pariwara.
Ba’dulu,
Abdul Muis dan Herman. 2005. Morfosintaksis.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 2003. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineke Cipta.
Hidayat, Toni Syamsul.
2010. Bahasa Sasak Halus Dan Prilaku Sosial Masyarakat Penuturnya. In:
Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa Nusantara, 6 Mei 2010, Hotel Pandanaran
Semarang.
Kridalaksana,
Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun,
2006. Kajian Dialektologi Diakronis
Bahasa Sasak di Pulau Lombok. Yogyakarta: Gama Media.
, 2012. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi,
Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad.
2011. Paradigma Kualitatif Penelitian
Bahasa. Yogyakarta: Liebe Book Press
Muslich,
Masnur. 2014. Tata Bentuk Bahasa
Indonesia: Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Nababan,
P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu
Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Purnanto,
Dwi. 2006. Kajian Morfologi Derivasional dan Infleksional dalam Bahasa Indonesia.
Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 18, Nomor 35, 2006: 136-152.
Ramlan.
1980. Morfologi. Yogyakarta: U.P.
Karyono.
Sensus
Penduduk Nusa Tenggara Barat Berdasarkan Kabupaten Tahun 2016.
Subroto,
Edi. 2012. Pemerian Morfologi Bahasa
Indonesia: Berdasarkan Perspektif Derivasi dan Infleksi Proses Afiksasi. Surakarta:
Cakrawala Media.
Sukri,
Muhammad. 2008. {m«N-} sebagai Afiks Derivasional dan
Infleksional dalam Bahasa Sasak Dialek Kuto-Kute. Disertasi, Bali: Universitas
Udayana.
,
2008. Morfologi: Kajian Antara Bentuk dan
Makna. Mataram: Cerdas Press.
Sumadi.
2012. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Sumarsono.
2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Thomas,
Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa,
Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaar,
J.W.M. 2012. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Yulida,
Ratna. 2008. Sistem Verba Bahasa Sasak Dialek Bayan dari Dasar Verba dan
Nomina. Tesis, Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.